James Cameron bisa dibilang menjadi raja perfilman dunia saat ini. Gimana nggak? Film Titanic garapannya 13 tahun lalu menjadi film terlaris (berpendapatan terbesar) sepanjang masa dan nggak terpecahkan sampai awal tahun ini. Jika kita lihat kesuksesan Titanic, bisa saja kita bilang kalo itu kebetulan. Tapi begitu rekor Titanic itu pecah di awal tahun ini, oleh film Cameron lagi yaitu Avatar, maka kita nggak bisa bilang itu kebetulan. Lebih hebat lagi, selama 13 tahun ini Cameron sama sekali nggak buat film yang lain. Mungkin bagi Cameron, sekali buat film harus luar biasa.
Sebenarnya Cameron nggak sepenuhnya libur kerja selama 13 tahun ini. Dia sempat juga bikin film tapi berupa film dokumenter. Film-film ini tentu saja bukan dimaksudkan untuk bertarung di kancah Hollywood. Cameron memang sangat selektif dalam memilih film yang akan dikerjakan. Dan menurut berita Cameron telah mulai mengerjakan Avatar ini sejak 4 tahun yang lalu. Ini menunjukkan pada kita bahwa film Avatar tergolong film yang “sulit” pengerjaannya.
Di film ini, Cameron bukan cuma menjadi sutradara tapi juga sebagai pembuat cerita. Semua ide tentang film ini benar-benar dari Cameron. Dan sebenarnya film ini adalah impian Cameron sejak sebelum dibuatnya film Titanic. Cameron baru membuat film ini 4 tahun lalu karena teknologi sebelum itu dianggap belum bisa menerima idenya.
Lalu apa aja sih yang luar biasa (dan juga kekurangan) dari film ini?
Efek Visual Avatar
Di film ini, kita sama sekali nggak bisa mencela soal efek visual. Kita bisa bisa bilang bahwa ini film dengan visual efek terbaik. Apalagi jika kita melihat film ini dalam versi 3D, wah, mata kita dimanjakan selama 2 jam 40 menit dengan gambar yang luar biasa.
Kita sebenarnya sadar bahwa gambar di film ini adalah gabungan antara gambar realita dan animasi CGI. Namun, gabungan ini sama sekali nggak terlihat sambungannya dan kita bisa melihat dengan nyaman seakan-akan semua gambar adalah realita. Teknologi di sini diapakai dengan sempurna sehingga sulit menemukan kejanggalan di film ini dalam hal efek visual.
Efek visual inilah yang mempunyai porsi terbesar dalam pembuatan film. Baik dari sisi jumlah crew sampai biaya yang dikeluarkan. Cameron yang perfeksionis benar-benar hanya ingin menggunakan teknologi terkini dengan orang-orang terbaik di bidangnya. Asal tahu aja bahwa biaya produksi dan pemasaran film ini mencapai USD 500 juta dan hampir separuhnya habis untuk efek visual ini.
Imajinasi Pandora
Film ini bercerita dengan setting tahun 2154 di mana manusia sudah menemukan planet lain yang berpenghuni makhluk hidup. Di tahun itu, bukan sekadar menemukan, manusia juga sudah bisa mendatangi planet tersebut.
Planet tersebut bernama planet Pandora. Planet ini dihuni makhluk bernama bangsa Na’vi yang mirip manusia namun mempunyai tinggi lebih dari 3 meter. Selain Na’vi, planet ini juga seperti bumi yang ada hewan dan tumbuhannya.
Meski Na’vi lebih tinggi dan kuat dibanding manusia, secara teknologi mereka masih jauh tertinggal dari manusia. Bahkan jika melihat kehidupan Na’vi, mereka masih seperti manusia purba. Baju ala kadarnya, rumah masih di pohon, kendaraan masih menggunakan hewan dan senjata masih senjata tajam beracun.
Untuk membuat Planet Pandora, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Cameron. Kita bisa bilang bahwa Cameron mencoba untuk jadi Tuhan. Bayangkan saja, untuk membuat film tampak sempurna dia harus membuat manusia baru, bahasa baru, hewan baru, tanaman baru hingga alam baru. Tentu saja ini sangat sulit. Makanya di sini Cameron tetap meangadopsi bumi sebagai satu-satunya kehidupan yang sudah kita ketahui.
Makhluk utamanya tetap seperti manusia meski jauh lebih tinggi. Tetap berdiri di atas 2 kaki, punya 2 tangan, 1 kepala, 2 telinga dan susunan tulang (sendi) yang sama dengan manusia.
Mengenai hewan, juga nggak jauh dari yang sudah ada di bumi. Misalnya mengadopsi bentuk kuda, monyet, badak, singa, anjing (srigala), burung serta beberapa serangga. Kuda tetap berfungsi sebagai kendaraan sekaligus alat perang. Selain itu Na’vi juga mengendarai burung besar. Bentuk burung besar ini mengadopsi bentuk burung raksasa di jaman dinosaurus.
Nah, dengan mengadopsi makhluk yang sudah ada di bumi, Cameron tinggal merubah sedikit-sedikit. Misalnya semua hewan yang asalnya berkaki 4 dijadikan berkaki 6. Alat bernapas bukan lagi di hidung/kepala namun ditaruh di pangkal leher. Selain kaki, mata juga ada yang ditambah menjadi 4 buah.
Mengenai tumbuhan, Cameron juga berusaha banyak “menciptakan” tumbuhan baru meski tetap mengadopsi tumbuhan bumi. Namun tampak sekali Cameron sangat suka dengan tumbuhan responsif yang diadopsi dari tumbuhan “putri malu”. Selain itu, Cameron lebih suka menciptakan tumbuhan yang bercahaya di malam hari. Makanya di film ini kita akan banyak melihat tumbuhan yang bergerak atau bercahaya ketika disentuh/diinjak.
Namun, selain bentuk tumbuh-tumbuhan baru itu, Cameron nggak membuat semua serba baru. Karena tentu saja dia bukan tuhan. Misalnya mengenai bentuk daun, bentuk pohon pada umumnya serta motif dan warna akar yang jelas sama dengan di bumi.
Sedangkan mengenai alam dan lanskap, Cameron berusaha menciptakan perbedaan yang ekstrim di beberapa tempat terutama di bagian gunung. Di situ Cameron menciptakan “bukit terbang” yang lilit akar tumbuhan sehingga mengesankan melayang. Selain lanskap, alam di Pandora hampir sama dengan bumi. Misal percepatan gravitasi dan tekanan udara yang tampaknya dibuat sama supaya nggak terlalu bikin pusing Cameron. Namun meski bertekanan sama, unsur udara di Pandora dibuat berbeda sehingga manusia harus memakai masker khusus untuk bisa bernapas di alam bebas.
Imajinasi Teknologi
Untuk membuat film bersetting tahun 2154 tentu dibutuhkan imajinasi yang sangat tinggi terutama yang menyangkut teknologi. Dan teknologi baru yang ditampilin Cameron antara lain adalah bentuk pesawat, helikopter, peralatan komputer dan robot yang bisa dikendalikan manusia dari dalam.
Untuk imajinasi teknologi ini tentu bukan barang baru bagi Cameron khususnya mengenai robot. Kita tahu Cameron juga sangat imajinatif ketika membuat film Terminator 1 dan Terminator 2 pada akhir dekade 80-an. Saat itu film Terminator 2 juga menjadi film yang menggunakan teknologi terbaru dalam pembuatan film.
Yang paling baru dan paling menarik dalam film Avatar bukan terletak pada robot, pesawat atau helikopter tapi lebih kepada monitor komputer. Monitor komputer di film ini hanya berupa lapisan bening seperti kaca. Ada yang datar dan berukuran biasa, juga ada yang berbentuk lengkung dan panjang. Semua monitor tembus pandang dari belakang sehingga bisa dilihat dari belakang (meski tulisan tetap tak terbaca dari belakang). Monitor datar ini juga bisa mengeluarkan gambar 3D yang bisa dilihat dari samping atau belakang.
Selain monitor yang terpasang di meja, ada juga monitor (sekaligus CPU-nya) yang bisa dibawa-bawa dan terkesan ringan. Bentuknya juga cuma seperti kaca bening tapi ringan. Dan sangat menarik ketika ada adegan operator memindah data dari komputer meja ke monitor tersebut hanya dengan menyeret dengan tangannya. Jadi nggak perlu lagi flash-disk lalu copy dan seterusnya. Cukup diseret seperti orang ngelap kaca dan data itu pun sudah ada di monitor yang bisa dibawa-bawa tadi.
Itu belum semua, ada lagi monitor yang berbentuk seperti meja besar. Di meja ini, kita bisa menampilkan hasil pantauan satelit secara 3D di atas meja tersebut. Jadi dengan monitor meja ini, kita seperti melihat Google Earth dalam versi 3 dimensi. Wow, idenya keren sekali.
Semua imajinasi teknologi di atas tentu hanyalah impian. Tapi sangat mungkin suatu saat semua itu akan terwujud, bahkan sebelum tahun 2154. Sebagai perbandingan, kita bisa lihat film James Bond yang jadul-jadul juga mempunyai impian mengenai teknologi dan sekarang semua itu sudah terwujud. Jadi impian manusia yang diwujudkan pada film biasanya memacu para ilmuwan untuk mewujudkannya. Terima kasih film…
Dan imajinasi paling liar dalam film ini adalah tentang istilah avatar itu sendiri. Avatar adalah teknologi kloning terhadap bangsa Na’vi yang kemudian bisa dikendalikan oleh manusia yang gen-nya ditanamkan. Untuk yang satu ini rasanya bukan teknologi yang baik untuk diciptakan.
Di antara imajinasi masa depan yang luar biasa itu, ada hal yang sedikit dilupakan oleh Cameron yaitu masalah fashion dan penampilan. Baju yang diapakai dalam film ini sama persis dengan yang kita pakai sekarang ini. Kemeja cowok, kaos cewek, seragam militer sampai tatanan rambut, semuanya sama dengan trend sekarang ini. Padahal trend fashion dan penampilan cenderung lebih mudah berubah setiap dekade.
Jalan Cerita
Mungkin hanya di faktor ini, kelemahan yang paling fatal dari film Avatar. Bisa dibilang ide cerita film ini nggak jauh beda dengan film Pocahontas hanya saja Avatar merubah orang Indian menjadi bangsa Na’vi di planet Pandora yang dijajah sama manusia modern.
Ceritanya sederhana dan klasik. Manusia modern menjajah suatu bangsa primitif dan kemudian ada orang-orang dari rombongan manusia modern tadi yang membelot dan memimpin perlawanan terhadap penjajah. Dan seperti biasa, pembelotan ini didasarkan pada unsur kemanusiaan dengan bumbu percintaan.
Menanggapi jalan cerita yang sederhana ini ada pro dan kontra di kalangan penikmat film. Pendapat pertama mengatakan nggak peduli dengan cerita. Film ini tetap film terbaik sepanjang masa. Bagi kalangan ini, film tergantung siapa yang mengemas. Bagi mereka Cameron sangat canggih dalam memberi kemasan. Bahkan di sebuah blog seorang penikmat film mengatakan bahwa Cameron bisa menyajikan (memasak) tempe sehingga seperti steak.
Pendapat kedua, menempatkan cerita sebagai nilai negatif bagi Avatar meski mengakui kelebihan yang lain. Pendapat ini sama dengan pendapat penulis. Bagi penulis, unsur utama dari sebuah film tetap ada di jalur cerita. Itulah kenapa film seperti Forrest Gump, A Beautiful Mind, No Country for Old Men dan Slumdog Millionaire, yang termasuk sedikit efek visualnya, bisa memenangkan film terbaik di ajang Academy Award. Demikian juga film-film Indonesia yang masih jauh ketinggalan di bidang efek visual akhirnya harus lebih banyak bersandar ke unsur cerita. Dan hasilnya, masih banyak film nasional yang bisa berkiprah di festival film internasional.
Efek visual tentu sangat penting, tapi itu lebih bertujuan untuk menyempurnakan cerita. Kalau unsur ceritanya belum bagus, efek visual tetap kurang mampu mengangkat kualitas film secara keseluruhan.
Di antara kelebihan dan kekurangan film Avatar di atas, secara keseluruhan film ini memang luar biasa. Antusias penonton yang menempatkan Avatar menjadi film terlaris sepanjang masa tentu menjadi poin penting dalam menilai film ini.
Hanya saja, untuk merebut posisi Film Terbaik (Best Picture) di ajang Academy Awards bisa jadi masih berat. Ini dikarenakan Avatar akan sangat sulit mendapat gelar terbaik untuk pemain (aktor/aktris)-nya. Kita tahu bahwa pemeran Avatar lebih banyak didominasi makhluk Na’vi yang dalam berperan lebih banyak unsur efek visual. Jadi untuk menilai kualitas akting para pemeran Avatar akan kesulitan dan ini berarti akan sulit mendapatkan piala Oscar.
Overall, kita harus angkat topi untuk James Cameron dan Avatarnya. Rekor terlarisnya mungkin akan sangat-sangat lama baru bisa terpecahkan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar